Gambar [Ibrani, tselem] atau akal budi, akal sehat,
norma-norma, kebebasan moral, dan lain-lain. Rupa [Ibrani,
demut] atau sesuai asli, sama seperti aslinya. Kata bahasa Ibrani dalam Alkitab, tentang penciptaaan
manusia, digunakan istilah bara [menciptakan atau ciptakan sesuatu yang
khas dan tidak sama dengan siapa dan apa pun], bermakna hasil buatan yang
lengkap, utuh, serta sempurna sehingga tidak perlu dirubah atau dibentuk ulang.
Artinya, sesuai kesaksian Alkitab, jika TUHAN Allah menciptakan alam semesta
dan isinya hanya dengan berfirman, namun manusia melalui cara yang berbeda;
sebagai bara Elohiym [Ibrani] atau ciptaan Allah, manusia mempunyai
aspek yang berbeda dengan apapun dan siapapun.
Selasa, 13 Mei 2014
Rabu, 30 April 2014
Paulus
Paulus, yang awalnya bernama Saulus, adalah seorang Yahudi yang lahir dan dibesarkan di Tarsus, provinsi Kilikia, wilayah Asia Kecil (Kisah Para Rasul 21:39). Dia adalah keturunan suku Benyamin dan termasuk orang Ibrani. Dia adalah warga negara Romawi. Dia hidup selama hampir 7 dekade penting sejak kelahiran Yesus. Dalam Alkitab, dia digambarkan sebagai orang yang kecil, memiliki kelemahan dalam penglihatannya (Galatia 4:15; 16:11), dan tidak terlalu fasih dalam berbicara (2 Korintus 10:10; 11:6). Dalam sebuah buku berjudul "Act of Paul", sosok Paulus digambarkan sebagai seorang laki-laki berperawakan kecil tapi kuat, sedikit botak, berhidung seperti kakaktua, dan memiliki kaki yang bengkok. Namun seperti apa perawakan Paulus, belum ada data yang menyebutkannya dengan pasti.
Saulus Muda
Saulus dilahirkan di Tarsus, sebuah kota utama dari provinsi Kilikia, terletak di sebelah timur Asia kecil. Di kota itu, dia terbiasa melihat kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di dalam tulisan-tulisannya, kita bisa menemukan pantulan dari situasi hidup dan kejadian-kejadian di kota Tarsus. Misalnya, kilatan cahaya yang menyilaukan yang dipantulkan oleh topi baja dan tombak tentara Roma di siang terik daerah Laut Tengah. Pengalaman ini sepertinya menjadi latar belakang ilustrasinya mengenai peperangan orang Kristen (2 Korintus 10:4). Selain itu, Paulus juga memakai ilustrasi tentang perahu yang kandas (1 Timotius 1:19), tukang periuk (Roma 9:21), kemenangan (2 Korintus 2:14), untuk membandingkan kemah duniawi dalam kehidupan ini dengan suatu tempat kediaman di surga -- suatu tempat kediaman kekal yang tidak dibuat oleh tangan manusia (2 Korintus 5:1).
Paulus adalah warga negara Roma (Kisah Para Rasul 22:25, 28), tetapi ia juga menyebut dirinya "orang Israel dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin" (Roma 11:1). Selain itu, Paulus adalah orang yang taat terhadap hukum Taurat dan menyebut dirinya seorang Farisi (Filipi 3:5; Kisah Para Rasul 23:6). Pendidikan keagamaannya berakar pada kepatuhan terhadap Hukum Taurat, sebagaimana diterangkan oleh para rabi Yahudi. Sejak usia 5 tahun, Paulus sudah dibiasakan untuk membaca Kitab Suci. Pada usia 10 tahun, dia dibiasakan untuk mempelajari Misynah dan berbagai tafsiran tentang Hukum Taurat, mendalami sejarah, adat- istiadat, dan bahasa bangsanya. Pada usia 13 tahun, dia diharapkan sudah bisa mempertanggungjawabkan ketaatannya pada Hukum Taurat.
Saulus dari Tarsus melewatkan masa mudanya di Yerusalem, di bawah pimpinan Gamaliel -- salah seorang rabi Yahudi yang sangat termasyhur. Di sana, ia dididik menurut hukum nenek moyangnya (Kisah Para Rasul 22:3). Sebagai calon rabi, Saulus diwajibkan memiliki keterampilan tertentu, sehingga ke depannya dia bisa mengajar tanpa membebani masyarakat. Paulus memilih industri yang khas dari kota Tarsus, yaitu membuat tenda dari bulu domba. Kemahirannya dalam membuat tenda inilah yang nantinya sangat bermanfaat dalam tugas-tugas misinya.
Setelah menyelesaikan masa belajarnya bersama Gamaliel, Paulus kemungkinan kembali ke Tarsus selama beberapa tahun. Setelah itu, ia kembali ke Yerusalem untuk menganiaya orang-orang Yahudi yang telah menerima ajaran Yesus, orang Nazaret. Paulus sendiri tidak pernah bisa melupakan apa yang pernah ia perbuat kepada orang-orang Yahudi, yang telah menerima ajaran Yesus (1 Korintus 15:9). Bahkan, ia sendiri menjuluki dirinya sebagai "penganiaya jemaat" (Filipi 3:6; Galatia 1:13) dan orang "yang paling berdosa" (1 Timotius 1:15), karena ia telah menganiaya Yesus dan para pengikut-Nya.
Pertobatan di Jalan Damsyik
Setelah kematian Stefanus, yang mana Saulus berperan sebagai salah satu algojo, Saulus berusaha membinasakan jemaat Tuhan dan memasuki rumah demi rumah, menyeret laki-laki dan perempuan ke luar, dan menyarankan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara (Kisah Para Rasul 8:3). Karena penganiayaan ini, murid Kristus tersebar sampai ke seluruh pelosok (Kisah Para Rasul 8:4). Mengetahui hal itu, ia memutuskan untuk melakukan pengejaran terhadap para murid Kristus yang tercerai-berai itu. Salah satunya ke Damsyik, dengan membawa pasukan dan surat kuasa yang memberinya kekuasaan untuk menangkap dan membawa siapa pun (Kisah Para Rasul 9:2).
Dalam perjalanan menuju Damsyik, suatu peristiwa penting terjadi. Dalam suatu kilatan cahaya yang terang-benderang, Saulus melihat semua kebanggaan dan keangkuhan dirinya dilucuti, dan mendapati dirinya hanya sebagai penganiaya Mesias beserta umat-Nya. Di hadapan Kristus yang hidup, Saulus menyerah. Ia mendengar ada suara yang berkata, "Akulah Yesus yang kau aniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kau perbuat." (Kisah Para Rasul 9:5-6) Sejak peristiwa itu, selama 3 hari ia tidak bisa melihat, tidak makan dan minum (Kisah Para Rasul 9:9). Ananias, seorang murid Tuhan disuruh untuk menumpangkan tangan ke atas Saulus, dan seketika itu Saulus bisa melihat kembali. Mulai saat itu namanya berubah menjadi Paulus.
Awal Pelayanan Paulus
Setelah pertobatannya, Paulus memberikan kesaksian tentang iman barunya di sinagoge di Damsyik. Akan tetapi, Paulus mengalami banyak pelajaran pahit sebelum dia bisa muncul sebagai seorang pemimpin jemaat Kristen yang dipercaya dan efektif. Jemaat Kristen masih trauma dengan masa lalunya yang suka menganiaya jemaat. Mereka mencurigai dan menjauhi Paulus. Karena merasa tidak diterima oleh jemaat di Damsyik, Paulus pergi ke Arabia dan beberapa waktu kemudian dia kembali ke Damsyik. Sayangnya, usaha Paulus untuk melayani Tuhan di Damsyik belum juga berhasil. Pertobatannya yang sudah berjalan 1-2 tahun belum membuat masyarakat Yahudi yakin bahwa Paulus benar-benar sudah berubah. Mereka begitu jengkel dan berunding untuk membunuh Paulus (Kisah Para Rasul 9:23). Untuk menyelamatkan diri, Paulus pergi ke Yerusalem. Naasnya, di sana pun dia tidak mendapatkan perlakuan yang baik. Lagi-lagi, dia harus melarikan diri. Setelah itu, Paulus menghilang selama beberapa tahun. Tahun-tahun pengasingan diri ini memberinya keyakinan yang matang dan kemampuan rohani yang ia butuhkan untuk pelayanan berikutnya.
Di Antiokhia, banyak orang non-Yahudi yang bertobat dan mengikut Kristus. Mereka perlu dibina. Saat itulah, Barnabas ingat kepada Paulus, dan segera pergi ke Tarsus untuk mencarinya. Barnabas pun memperkenalkan Paulus kepada jemaat dan menghilangkan kecurigaan jemaat kepadanya.
Perjalanan Pengabaran Injil
Gereja baru yang sedang berkembang di Antiokhia mengutus Barnabas dan Paulus sebagai utusan Injil. Tempat persinggahan mereka yang pertama adalah Salamis di Pulau Siprus, tempat kelahiran Barnabas. Keberhasilan pengabaran Injil di pulau itu membakar semangat Paulus dan rekan-rekannya untuk meneruskan usaha mereka ke daerah-daerah yang lebih sulit. Mereka menuju Perga dan Antiokhia. Di Antokhia, Paulus menjadi pembicara. Di sana, sebagian orang memercayai pemberitaan Paulus dan sebagian lagi menolaknya. Hal ini memicu perlawanan. Awalnya hal ini hanya terjadi di Antiokhia, namun selanjutnya menjalar ke Ikonium dan Listra. Di Listra, ia dilempari batu dan ditinggalkan di luar kota. Orang-orang yang melemparinya dengan batu menduga bahwa dia sudah mati, jadi mereka meninggalkannya begitu saja. Namun, ternyata Paulus masih hidup. Setelah itu, dia pergi ke Derbe. Kunjungan Paulus dan Barnabas ke Derbe mengakhiri perjalanan mereka yang pertama. Namun, tidak lama kemudian, Paulus memutuskan untuk menelusuri kembali rute yang sulit itu untuk menguatkan, memberi semangat, dan mengorganisasi kelompok-kelompok Kristen yang telah berhasil didirikannya bersama Barnabas. Paulus berencana untuk mendirikan jemaat-jemaat Kristen di kota-kota utama dalam wilayah Kerajaan Romawi. Ia tidak mau meninggalkan orang-orang yang sudah ia bawa bertobat itu tanpa pemimpin rohani yang memadai.
Dalam perjalanan pengabaran Injil tersebut, Paulus juga memikirkan hubungan antara orang-orang non-Yahudi yang telah bertobat dengan kalangan orang Yahudi Kristen. Meskipun telah bertobat, orang-orang percaya non-Yahudi ini tetap dianggap kelas "dua", sehingga menghalangi mereka untuk menjadi "anggota penuh" jemaat Yahudi. Paulus bersama Barnabas pergi ke Yerusalem untuk membicarakan masalah ini dengan para pemimpin gereja di sana. Paulus berhasil memikat hati banyak orang dengan pemaparan pandangannya mengenai masalah tersebut. Setelah persidangan di Yerusalem, Paulus dan Barnabas tinggal beberapa saat di Antiokhia (Kisah Para Rasul 15:35).
Sayangnya, di sana terjadi dua peristiwa yang meretakkan hubungan kerja Paulus dengan Barnabas dan Petrus. Awalnya, Petrus mendukung pandangan Paulus untuk membebaskan orang non-Yahudi dari aturan makan orang Yahudi, bahkan memberikan teladan dengan cara makan bersama-sama orang non-Yahudi. Namun, selanjutnya Petrus mengundurkan diri dan menjauhi mereka (Galatia 2:12). Barnabas pun turut terseret dengan Petrus. Inilah peristiwa pertama yang meretakkan hubungan mereka. Peristiwa kedua adalah Paulus menentang Barnabas untuk membawa serta Yohanes Markus dalam perjalanan penginjilan mereka. Hal ini menimbulkan perselisihan yang tajam (Kisah Para Rasul 15:39). Alhasil, mereka selanjutnya mengambil rute yang berbeda dalam perjalanan penginjilan. Hal ini justru membuat Injil tersebar lebih luas.
Dalam pelayanan selanjutnya, Paulus ditemani oleh Silas. Mereka berjalan mengelilingi Siria dan Kilikia sambil menguatkan jemaat-jemaat di situ. Setelah itu, mereka pergi ke Derbe dan Listra. Di Listra, Paulus bertemu dengan Timotius yang kemudian dipilihnya untuk membantu Paulus dalam pelayanannya. Selanjutnya, Paulus melakukan perjalanan misinya melewati kota-kota utama Makedonia -- dari Filipi ke Tesalonika, Berea, Athena, dan Korintus.
Setelah Paulus melayani orang-orang non-Yahudi selama hampir 3 tahun di Yerusalem, Paulus kembali ke Antiokhia. Dari sana, dia menuju ke Galatia, Frigia, Derbe, Listra, Ikonium, dan Antiokhia. Setelah itu, ia memutuskan untuk menginjil secara intensif di Efesus. Di Efesus inilah Paulus menunjukkan pelayanannya yang paling sukses dan paling luas. Akan tetapi, ini merupakan tahun-tahun paling berat baginya. Ia harus menghidupi dirinya sendiri dengan membuat dan menjual tenda- tenda. Pagi-pagi benar dia mulai membuat tenda, siang harinya dia mengajar dan memberitakan Injil, kemungkinan hingga malam hari. Dia melakukan hal ini setiap hari selama 2 tahun. Setelah melewatkan tiga kali musim dingin di Efesus, Paulus kemudian pergi ke Korintus lalu ke Roma.
Pemenjaraan dan Pengadilan Paulus
Di satu sisi pelayanan Paulus didukung oleh banyak orang, namun di sisi lain tetap saja ada kelompok yang tidak menyukainya dan meragukan kesucian hatinya dalam melayani Tuhan Allah. Ada beberapa orang Yahudi yang menangkap Paulus dan memberikan tuduhan palsu kepadanya (Kisah Para Rasul 21:27-29). Peristiwa ini semakin besar, sehingga Paulus harus berhadapan dengan pembesar negara dan masalah hukum. Akhirnya, Paulus dimasukkan ke dalam penjara.
Perjanjian Baru tidak memberitahukan kepada kita bagaimana Paulus mati. Beberapa pakar modern menyatakan bahwa setelah kaisar membebaskan Paulus, dia kembali terlibat dalam pekerjaan penginjilan. Oleh karena itu, Paulus ditangkap untuk kedua kalinya dan dihukum mati. Dalam buku "First Epistle of Clement" (Surat Pertama Klemens) dan "Acts of Paul" (Kisah Paulus) yang ditulis sebelum tahun 200 menegaskan bahwa hal itu memang terjadi. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Paulus dipenggal kepalanya di Roma tidak lama sebelum runtuhnya pemerintahan Kaisar Nero (sekitar tahun 67).
Selama hidupnya, Paulus melakukan banyak pelayanan. Dia adalah penginjil terbesar, penanam gereja, pemenang jiwa, dan seorang teolog dari sejarah gereja. Dia adalah penulis 13 dari 27 Kitab Perjanjian Baru.
Diringkas oleh: Sri Setyawati
Diringkas dari:
Buku karangan J.I. Packer, Merril C. Tenney, dan William White, Jr. The World of the New Testament (Dunia Perjanjian Baru), Bab: Paulus dan Perjalanan-perjalanannya Terj. Johan C. Pandelaki dan Sutrisno. Penerbit: YAKIN, Surabaya dan Penerbit Gandum Mas, Malang 1993 Halaman: 193 -- 214
Missio Ecclesiae dan Misio Dei, Misi Holistik, Gereja Misioner
Missio Ecclesiae
Missio Ecclesiae adalah pengutusan gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasu untuk memberitakan Injil keselamatan kepada segala bangsa (umat manusia).[1]Gereja hadir untuk melakaksanakan misi Allah (Missi Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah-tengah dunia. Dalam surat Paulus (Ef. 4:13-14), disebutkan gereja harus sampai pada kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Gereja harus berkarya dalam Kristus serta hidup dan berjalan di dalam Kristus sebagai misi-Nya. Dalam hal ini jelaslah bahwa gereja dan misi tidak dapat terpisahkan, sebab misi gereja (Missio Ecclesiae) melanjutkan pengutusan Allah Putera dan Roh Kudus yang berawal dari Allah Bapa (Yoh. 17:18; 20;21). Jadi misi berawal dari Allah Bapa yang melalui pengutusan Yesus Kristus ke dalam gereja.[2]
Missio Ecclesiae yaitu mewartakan bahwa Yesus adalah Juruselamat bagi manusia, di dalamnya berbicara mengenai pewartaan Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya yang terbuka bagi semua orang. Gereja mempunyai keharusan untuk mewartakan Injil, baik kepada perorangan maupun kelompok yang dimengerti oleh Roh Kudus untuk memahami kondisi manusia dan membawa manusia kepada pembebasan dosa dan kematian karena perintah Kristus di dalam mengabarkan kabar gembira Allah bahwa Dia mewahyukan dan memberikan diri-Nya sendiri di dalam Kristus untuk Injil harus diwartakan yang menjadi Missio Ecclesiae.[3]
Kita tidak boleh meletakkan misi di bawah gereja , ataupun gereja di bawah misi. Sebaliknya, keduanya harus diangkat ke dalam missio Dei, yang menjadi konsep yang memayunginya. Missio Dei menciptakan mission ecclesiae. Gereja berubah dari pengutus menjadi yang diutus.[4]Dalam eklesiologi yang muncul, gereja pada hakikatnya dipandang missioner. Eklesiologi tidak mendahului misiologi. Kegiatan missioner bukanlah terutama karya gereja melainkan sebagai Gereja yang berkarya.
Missio Dei
Missio Dei adalah pengutusan oleh Allah, dimana Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek segala pengutusan, terutama pengutusan Anak-Nya. Dialah pengutus agung.[5]Pengutusan ini berhubungan erat dengan keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia, pemilihan Israel, pengutusan para nabi kepada bangsa Israel dan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya, pengutusan Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia, pengutusan rasul-rasul dan pekabar-pekabar Injil kepada bangsa-bangsa.[6]Misi berasal dari Allah dan berakhir pada Allah. Allah adalah Allah yang mengutus, yang keluar menuju dunia. Ia adalah yang mengutus Putra dan Roh-Nya.[7]
Di dalam Missio Dei, karya misi pertama-tama dilihat sebagai karya Allah, yakni Allah yang mengutus diri-Nya kepada dunia. Allah hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dan memanggilnya untuk menerima tawaran rahmat-Nya. Dampak dari karya rahmat yang mengkristal dan mengendap di dalam kehidupan manusia menjadi saksi hubungan yang telah terjalin antara Allah dengan manusia sepanjang zaman. Manusia yang telah menerima rahmat keselamatan diutus (secara implisit dan eksplisit) untuk menjadi sakramen keselamatan, yakni saksi persatuan antara Allah dengan manusia. Baik panggilan maupun perutusan berorientasi pada rencana Allah untuk menyelamatkan dunia, di mana Allah sendiri “meraja” atas dunia dan menjadi segalanya dalam segalanya (1 Kor. 15: 28).[8]
Gagasan tentang mission Dei, menurut Bosch, mula-mula muncul pada konferensi IMC di Wilingen pada tahun 1952. Para utusan mengukuhkan bahwa misi berasal dari hakikat Allah sendiri. Artinya misi dipahami berasal dari hakikat Allah sendiri, bukanlah pertama-tama aktivitas gereja, melainkan suatu ciri Allah di mana Allah adalah Allah yang missioner. Jadi di sini misi dilihat sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia, dan gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut. Gereja ada karena ada misi yang mengutus. Oleh karena itu, misi ada karena Allah mengasihi dunia/ manusia. Pertemuan IMC itu juga memikirkan kembali kewajiban missioner gereja. Kewajiban missioner gereja berasal dari kasih Allah dalam hubungannya yang aktif dengan umat manusia. Oleh karena Allah mengirimkan Anak-Nya, Yesus Kristus, untuk mencari dan mengumpulkan, serta mengubah semua orang yang terasingkan karena dosa dari Allah dan sesamanya. Inilah yang merupakan kehendak Allah dan itu terwujud di dalam Kristus dan akan disempurnakan di dalam Kristus. Karena Allah juga mengutus Roh Kudus, melalui Roh Kudus, gereja, yang mengalami kasih Allah yang aktif, diyakinkan bahwa Allah akan menyempurnakan apa yang telah dimulainya dengan pengutusan anak-Nya itu.[9]
Bagi Missio Dei, Allah Alkitab adalah Allah yang missioner, Allah yang mengutus. Melalui Firman dan Roh-Nya, Ia menciptakan laki-laki dan perempuan di dalam gambar-Nya sendiri dan mengutus mereka untuk menguasai alam di bawah kehendak-Nya yang adil dan penuh kasih. Lebih jauh, Allah yang missioner ini telah memilih untuk bertindakdi dalam sejarah. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal…….”, kata Yohanes, meskipun ia melanjutkan dengan mengatakan betapa dunia ini memusuhi Allah dan kehendak-Nya. Tetapi ksih Allah bagi dunia ini dinyatakan di dalam maksud-Nya untuk mentransformasi dunia-suatu transformasi yang diperlihatkan di dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Maksud ini mencakup tindakan Allah di dalam penciptaan dan penebusan dengan mitra manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab dan ikut serta di dalam kedudukannya sebagai Tuhan atas ciptaan di dalam keadilan dan perdamaian. Di dalam Kristus, manusia yang baru ini telah tercipta, dan dari tujuan misi ini adalah bahwa semuanya ikut serta di dalmnya. Missio Dei juga menegaskan gagasan bahwa misi adalah milik Allah yang mempertajam fokus kita kepada Injil sebagai kabar baik dari manusia yang diperbarui di dalam Kristus. Alkitab mengungkapanrealitas yang sama dari manusia yang baru ini di dalam kata syalom, perdamaian. Tujuan yang disasar Allah di dalam pekerjaan-Nya, tujuan akhir dari misi-Nya, adalah mendirikan syalom. Ini meliputi perwujudan realisasi potensi-potensi sepenuhnya dari seluruh ciptaan dan pendamaian akhir dan kesatuan di dalam Kristus.[10]
Di dalam PL Allah sendiri yang bertindak dalam sejarah, nampak dalam setiap tindakan Allah kepada umat-Nya Israel sebagai suatu rencana karya penyelamatan Allah. Tindakan-tindakan Allah terhadap umat-Nya, bahkan pemanggilan Abraham dan Israel sebagai bangsa pilihan, jelas mempunyai misi yaitu agar umat pilihan-Nya diubahkan atau dibaharui serta umat pilihan-Nya menguduskannya.
Misi Holistik
Misi Shalom Allah memiliki hakikat yang holistik. Hakikat misi yang holistik ini dapat dijelaskan sebagai “suatu aspek yang menyeluruh” yang memiliki kesatuan yang integral dengan aspek-aspek lengkap yang utuh.[11]Misi holistik artinya misi itu tidak terbatas pada kesaksian, penginjilan pribadi, melainkan misi yang mencakup seluruh ajaran Yesus seperti memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang sakit, menghibur yang susah, dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Hal ini berarti misi tidak boleh dibiarkan terjebak pada doktrin-doktrin dan tradisi-tradisi keagamaan yang kaku, dan sebagainya (bnd. Yoh.3:17,18; Yoh.17:18). Sehingga usaha untuk mematahkan akar kemiskinan seperti struktur masyarakat yang tidak adil, bentuk-bentuk tindakan yang membuat manusia tidak sejahtera seperti pandangan terhadap kedudukan dan peran perempuan yang dianggap rendah dan terabaikan (Luk. 4:19).
Dalam Perjanjian Baru, penginjilan tidak pernah semata-mata berupa pemberitaan keluar bagi keselamatan jiwa sehingga orang mati (termasuk mati rohani) dibangkitkan tetapi juga berbentuk pelayanan kasih sehingga orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang buta melihat dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Mat. 11: 4-5; Yes. 33: 5-6); Injil juga tidak pernah hanya berupa kebutuhan jasmaniah. Dalam bahasan Re-thinking missionaries atau pemikiran tentang kegiatan bermisi, penginjilan itu dipahami bukan hanya dalam rangka penobatan yang membuat orang lain menjadi anggota gereja, tetapi juga dalam rangka memantapkan suatu kebudayaan, peradaban dan kebutuhan manusia.[12]Baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian baru memperlihatkan bahwa penyampaian berita keselamatan itu (pemberitaan Injil) bersifat holistik, tidak pernah hanya berbentuk pemberitaan firman tetapi juga kesaksian hidup dan pelayanan kasih, tidak hanya bagi keselamatan yang batiniah tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan jasmaniah dalam kehidupan sehari-hari.
Tugas dalam misi adalah memberitakan injil dan barang siapa yang percaya akan di baptis (Mrk.16:16). Tetapi misi tidak hanya menyangkut iman saja, juga menyangkut kehidupan manusia supaya ada kesejahteraan lahir dan batin baik itu menolong orang yang sakit, miskin dll. (Mat. 25:40). Misi itu mempunyai bagian dalam pelayanan sosial. Berdasarkan konsep Injil yang holistik itu, khususnya konsep Injil Kerajaan Allah, maka gereja-gereja di Indonesia dalam Sidang Raya DGI VII pada tahun 1971 menyatakan bahwa Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaharuan serta kebebasan, keadlian, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia. Bagi DGI Injil cuma satu, yaitu Injil Kerajaan Allah. Penyataan ini ditegaskan ulang dalam Sidang Raya DGI X di Ambon pada tahun 1984. Ditambahkan bahwa “Injil itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia” (Roma 1 : 16). Maksud penegasan ini adalah menggarisbawahi bahwa perealisasian tanda-tanda kehadiran-Nya dalam bentuk kebebasan, keadilan, kebanaran dan kesejahteraan itu bukan tindakan manusia melainkan tindakan Allah sendiri. Dengan demikian pemberitaan Injil dilakukan harus dalam kedua sisinya, yaitu pertobatan dan pembaharuan hidup (vertikal) dan pelayanan sosial diakonia (horizontal).
Dasar-Dasar Misi Yang Holistik
Dasar-dasar misi yang holistik dalam Alkitab dibangun atas kebenaran Firman antara lain:
- Mandat misi Allah (mandat perjanjian) yang membawa shalom merupakan dasar misi yang holistik yang mencakup aspek rohani, budaya, sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, kesehatan, pendidikan, teknik, militer, ekologi, demografi, dan lain-lain. Di mana misi Allah dinyatakan, di situ ada pembebasan manusia secara holistik untuk menikmati shalom secara utuh pula.
- Proklamasi misi dari Tuhan Yesus Kristus di dalam Injil Lukas 4: 18-19 menegaskan bahwa misi-Nya yang satu itu beroperasi dengan menyentuh segala aspek kehidupan manusia.
- Pelaksanaan misi Tuhan Yesus dilakukan-Nya dengan model yang holistik di mana Ia melayankan Injil yang satu kepada manusia dengan membebaskan secara utuh.
- Firman yang dinyatakan Allah dalam Perjanjian Lama selalu bersifat holistik. Contohnya ketika Allah menyatakan diri kepada Yakub yang menyentuh kehidupannya secara utuh dengan membebaskan Yakub dan meneladani aspek rohani; aspek ekonomi/ budaya; aspek sosial yang menjadi kesaksian kepada dunia.
Model Misi Holistik yang Alkitabiah
Adapun model misi holistik yang Alkitabiah antara lain yaitu:
- Model Misi Eksklusif Spiritual. Model ini menjelaskan bahwa misi dan pekabaran Injil hanya berhubungan dengan hal-hal yang rohani. Pandangan ini menekankan bahwa hal paling penting bagi Allah ialah keselamatan jiwa manusia yang berdosa. Model ini ditandai oleh sikap tertutup yang memisahkan diri dari dunia, sehingga terlihat eksklusif spiritual semata.
- Model Poros Injil. Model ini menempatkan misi/ injil sebagai poros yang merupakan fokus yang dianggap lebih penting dari misi shalom Allah. Model ini cenderung memberikan nilai secara hierarkis kepada hal-hal rohani (keselamatan jiwa) dan menempatkan hal-hal lain dalam tatanan sekunder.
- Model Proporsi Injil Akomodatif. Model ini melihat injil dan urusan rohani sebagai lebih penting dan urusan hidup lainnya. Model ini tidak mengabaikan hal-hal lain dari aspek kehidupan manusia, hanya saja, semua itu di tempatkan pada proporsi setelah hal rohani dari tugas misi.
- Model Misi Holistik Paripurna. Model ini bersifat inklusif dan melihat misi Allah dari kaca mata shalom yang menyeluruh yang memiliki dinamika dan beroperasi dalam kondisi kompleksitas tinggi dengan dinamika serta seluruh matra kehidupan.
Gereja Misioner
Sebelum membahas tentang cara menjadikan sebuah gereja lokal menjadi gereja yang misioner, ada dua hal mendasar yang perlu dipahami terlebih dahulu. Pertama, konsep yang benar terhadap amanat agung (Mat 28:19-20). Mayoritas orang memahami inti amanat agung terletak pada penginjilan (band. kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran. Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti amanat agung justru terletak pada pemuridan.[13]Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja “jadikanlah murid” (lit. “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan
“ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus.[14]
Ke dua, konsep yang benar tentang misi. Ada tiga pandangan umum tentang misi.[15]Pandangan tradisional melihat misi identik (dan terbatas pada) penginjilan. Menurut pandangan modern (kalangan liberal) misi mencakup penginjilan dan pelayanan sosial, namun bagi mereka penginjilan tidak lebih penting daripada pelayanan sosial. Perubahan paradigma kalangan Injili tentang pengertian misi dipelopori oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi.[16]Murid-murid diutus untuk melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial. Perbedaan konsep tentang pengertian misi seperti di atas bisa membawa implikasi praktis secara vocational (konsep tentang pekerjaan), local (konsep tentang jenis pelayanan gereja) dan national (konsep tentang keterlibatan gereja dalam masyarakat).[17]
Menjadikan gereja yang misioner
Pada bagian ini Penulis akan memberikan beberapa pedoman praktis untuk menciptakan gereja yang missioner. Pedoman praktis yang paling penting, tetapi sekaligus sering diabaikan, adalah berdoa. David yrant mengatakan, “there is a threefold development in God’s pattern of awakening: first, there are prayer movements, then there is revitalization, then expansion”.[18]Doa memegang peranan lebih penting daripada pengetahuan tentang misi dan berbagai metode/strategi dalam misi. Suatu metode tidak selalu bisa diaplikasikan dalam konteks tertentu, tetapi doa berada di atas semua konteks. Doa misi yang baik harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: didasarkan pada pengetahuan tentang situasi di lading misi,[19]diadakan secara khusus (misalnya melalui konser doa misi), teratur dan memiliki pokok doa yang sangat spesifik.
Pedoman selanjutnya adalah mengadakan berbagai “propaganda” misi. Tujuan dari propaganda ini adalah menciptakan atmosfir misi di gereja lokal dan mengimpartasi pengetahuan tentang berbagai sisi dunia misi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui beberapa cara: kotbah yang khusus dan terencana seputar misi, literatur misi (baik perpustakaan misi, majalah dinding maupun artikel di warta gereja), film-film dokumenter tentang tokoh-tokoh misi, ceramah misi dan keterlibatan langsung dalam misi (misalnya mission trip). Khusus untuk ceramah misi, Paul A. Beals mengusulkan agar gereja mengundang pembicara yang berkecimpung di berbagai bidang yang berbeda dalam misi, antara lain pelaksana misi di lapangan, administrator misi di yayasan misi, penginjil muda yang baru direkrut dan dosen misi.[20]Dengan mengundang beragam pembicara seperti ini, gereja akan memperoleh informasi yang komprehensif tentang berbagai sisi pekerjaan misi.
Setelah mengetahui berbagai aspek misi, langkah selanjutnya adalah menentukan target misi yang spesifik. Pembatasan ini bukan dimaksudkan sebagai eksklusivitas, tetapi lebih pada prioritas. Dengan memiliki target misi yang jelas gereja akan lebih efektif terlibat dalam misi. Menjangkau suatu kelompok saja merupakan suatu hal yang sulit, apalagi menjangkau semua kelompok yang ada. Gereja yang memiliki banyak target (mencoba menjangkau semua orang dalam prioritas yang sama) sebenarnya tidak memiliki target.
Only rarely have we heard of an entire people group turning to the Lord. Also rare is the image of a dynamic local church trying to reach an entire city or even an entire, significant subculture within that city or area. Therefore, when we talk of reaching an entire people group (not to mention the world), the task seems impractical and even impossible.[21]
Untuk memilih target ini gereja perlu mengenal beragam opsi/peluang yang ada dan memperhatikan situasi intern gereja. Berikut ini adalah beberapa target dan peluang misi yang bisa dipertimbangkan:
- Mengadopsi para penginjil (field worker) yang melayani daerah/suku tertentu dengan cara memberikan bantuan materi secara teratur.
- Mempersiapkan anggota gereja lokal untuk menjadi penginjil bagi daerah/suku tertentu.
- Menjangkau golongan masyarakat tertentu yang ada di kota10 atau di desa. Golongan ini bisa didasarkan pada usia, tingkat pendidikan, status ekonomi/sosial, pekerjaan maupun kultur (suku).
Langkah selanjutnya setelah menentukan target misi adalah mengadakan pelatihan khusus dan praktek sesuai dengan target yang telah ditentukan. Bagaimanapun, seminar yang tanpa disertai pelatihan hanya akan menghasilkan ‘persaan bersalah (guilty feeling). Apabila perasaan ini terus menerus “dibangkitkan” melalui berbagai seminar misi yang diadakan, hal ini bisa mematikan nurani terhadap misi. Selain itu, seminar hanya membahas prinsip yang sangat umum, sedangkan situasi yang dihadapi di lapangan seringkali lebih spesifik dan sekaligus kompleks. Dalam kaitan dengan hal ini, gereja perlu memahami bahwa pendidikan misi bukan hanya menyangkut impartasi pengetahuan misi, tetapi juga pengalaman misi.
Paul D. and Katherine A. Gehris menjelaskan cakupan pendidikan sebagai berikut:
The dictionary says to educate is to develop the facilities and powers of by teaching, instructing or schooling; to quality by instruction or training for a particular calling or practice. Some people think that one is educated when one knows a lot of facts about a specific subject; others think that facts are less important than the ability to find answers to the questions that arise in a given area’ and still others think that the educated person is one who learns from the past in order to plan for the future. All are right but not exclusive. Education is a continuous process of seeking, discovering, and assimilating.[22]
Pelatihan yang diadakan harus mencakup semua proses yang diperlukan, dari manajemen doa – penelitian lapangan (observasi) – penentuan target – perencanaan – pelaksanaan – evaluasi. Langkah selanjutnya adalah perencanaan, perekrutan tenaga misi dan penyediaan sarana atau prasarana yang dibutuhkan. Betapapun berpengalamannya seorang pembicara atau instruktur yang diundang dalam pelatihan, ia belum tentu menguasai situasi riil yang konkret, seperti yang dilihat setiap hari oleh jemaat. Instruktur hanya memberikan pedoman dasar, tetapi realisasi dari itu tetap menjadi tugas gereja lokal. Gereja perlu membuat perencanaan yang detil (menyangkut tahapan kerja, waktu, pembuatan anggaran biaya, dsb.). Gereja juga perlu memotivasi agar setiap jemaat terlibat dalam program misi yang telah dibuat. Tidak setiap jemaat harus memberikan kontribusi yang sama dalam pelaksanaan tersebut. Gereja perlu peka dan pro aktif dalam mengoptimalkan sebanyak mungkin jemaat. Sebagian dari mereka juga perlu ditunjuk untuk menggalang dana misi maupun menyediakan sarana yang diperlukan. Setelah program dijalankan selama waktu tertentu, langkah yang perlu ditempuh adalah evaluasi. Langkah ini berguna untuk mengetahui kunci keberhasilan atau kegagalan suatu perencanaan misi. Evaluasi juga penting dalam meningkatkan dedikasi dan loyalitas kaum muda, karena apapun yang mereka lakukan akan mendapatkan penilaian. Gereja perlu mengenali secara langsung faktor apa saja yang mempengaruhi sebuah kegagalan atau 10 Sebagian gereja cenderung hanya membatasi misi pada daerah pedesaan. Misi hanya dipahami dalam konteks mengirim penginjil ke suatu desa. Cara ini dewasa ini diketahui kurang efektif, karena mayoritas penduduk desa cenderung curiga dengan kaum pendatang. Para praktisi misi sekarang mengupayakan penginjilan pada kaum urban yang diharapkan ketika mereka pulang ke kampung untuk liburan, mereka bisa mengabarkan Injil kepada keluarga dan teman mereka di desa. Keberhasilan, misalnya tujuan yang terlalu ambisius, perencanaan yang tidak konkret, loyalitas praktisi yang tidak maksimal, dukungan gereja yang tidak memadai, kekurangan secara finansial sampai faktor X di luar prediksi dan proyeksi yang sudah dilakukan.
Langkah terakhir yang tidak boleh diabaikan adalah pendewasaan iman dari petobat baru. Pendewasaan ini dikenal dengan istilah pemuridan. Pemuridan mencakup perkembangan kognitif tentang seluk beluk kekristenan dan peningkatan gaya hidup menjadi seperti Tuhan Yesus. Gereja perlu menyediakan sarana maupun media pertumbuhan iman, baik yang bersifat pribadi (visitasi yang intensif, bantuan cara membaca Alkitab, dll.) maupun kelompok (kelas katekisasi, modul untuk belajar Alkitab secara berkelompok, kelompok sel atau Kelompok Tumbuh Bersama).[23]
Kesimpulan
Menciptakan sebuah gereja yang misioner tidak bisa dikerjakan dalam sekejap dan hanya melalui sebuah seminar misi. Visi ini juga tidak mungkin dikerjakan oleh orang luar maupun sebagian kecil dari elemen gereja lokal. Gereja yang misioner akan tercipta melalui waktu yang cukup panjang dan peran aktif setiap anggota gereja. Kiranya makalah pengantar ini bisa membuka khasanah berpikir setiap jemaat tentang misi, membangkitkan apresiasi terhadap pekerjaan misi dan akhirnya memotivasi jemaat untuk terlibat secara aktif dalam pekerjaan Tuhan yang besar di dunia ini melalui misi. Semoga Tuhan menolong kita menjadi jemaat dan gereja lokal yang mencintai misi.
Catatan Kaki:
[1] A. de Kuiper, Misiologia, Jakarta: BPK-GM, 1996, 10
[2] Ranto G. Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, Bandung: Media, 2006, 75
[3] Yakub Haribrabowo, Misi Gereja Dalam Konteks Pluralitas di Indonesia, Pematang Siantar: Fakultas Filsafat Universitas Santo Thomas, 2003, 117
[4] David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2006, 568
[5] H. Venema, Injil Untuk Semua Orang Jilid I, Jakarta: YKBK, 1997, 48
[6] Arie de Kuiper, Missiologia, Jakarta: BPK-GM, 2004, 10
[7] Dion Damis, Dimensi Komunikasi Dalam Misi, dalam Aditya Wacana, Jurnal Agama Dan Kebudyaan, Vol. III, No.2, 2004, 92
[8] Edmund Woga, Dasar- Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, 57
[9] Norman E. Thomas, Teks-teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Di Dunia, Jakarta: BPK-GM, 1998, 147
[10] Ibid, 164
[11] Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003, 63
[12] Risnawaty Sinulingga “Suatu Tinjauan Teologis Tentang Misi” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XVIII, Medan: STT Abdi Sabda, 2007, 41
[13] D. A. Carson, “Matthew” dalam Expositor’s Bible Commentary on the New Testament, ed. by Frank E. Gaebelein. Zondervan Reference Software.
[14] Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution (2nd ed., Grand Rapids: Wm. B. Eedrmans Publishing Company, 1994), 596
[15] A. Scott Moreau, “Mission and Missions” dalam Evangelical Dictionary of World Missions (A. Scott Moreau, Harold Netland and Charles van Engen, eds., Grand Rapids/Carlisle: Baker Books/Paternoster Press, 2000), 637-638
[16] Untuk pembahasan tentang pengertian misi ini lihat John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World (Downer Grove: Inter-Varsity Press, 1975), 15-34
[17] Ibid., 31-34
[18] “Concerts of Prayer” dalam Faithful in Christ Jesus: A Mission Reader, Urbana Advance (comp. by Bill Gohen and Karen Niedermayer; Downer Grove: Inter-Varsity Press, 1984), 22. Signifikansi doa bagi kebangunan rohani juga dapat dilihat dari seri film dokumenter Transformation
[19] Ada beberapa sumber yang bisa dipakai untuk meng-up date informasi tentang misi di Indonesia. Salah satu yang umum dipakai adalah terbitan Kalender Jaringan Doa Nasional (KJDN). Bentuk pamflet bisa didapat secara cuma-cuma, sedangkan yang dalam bentuk buku bisa dibeli dengan harga yang relatif sangat murah. Untuk informasi tentang misi global (seluruh dunia), sumber utama yang biasa dipakai adalah buku Operation World yang secara kontinyu mengalami revisi.
[20] A People for His Name: A Church-Based Missions Strategy (Grand Rapids: Baker Book House, 1988), 104-105.
[21] Ralph D. Winter & Steven C. Hawthorne, Perspectives on the World Christian Movement: A Study Guide (rev. ed., Pasadena: Willliam Carey Library, 1991), 15-1.
[22] The Teaching Church-Active in Mission (Valley Forge: Judson Press, 1987), 21.
[23] Hal yang perlu diingat adalah bahwa pelebaran Kerajaan Allah melalui misi tidak selalu identik dengan pertumbuhan gereja. Pelaksanaan misi tidak semata-mata ditujukan untuk memperbanyak anggota gereja lokal. bagaimanapun, gereja lokal tetap perlu terlibat dalam misi dan pemuridan. Petobat baru juga sebisa mungkin dibimbing menjadi anggota aktif suatu gereja local.
Dasar Teologi Misi
Pengertian misi akan selalu berhubungan dengan sejarah keselamatan Allah sendiri bagi umat-Nya mengerti dan memahami dasar dari Teologia. Teologia bukanlah sekedar kumpulan doktrin/ajaran yang dapat dipegang dan digunakan untuk menghadapi bermacam-macam persoaln di segala zaman dan tempat. Juga bukan setumpuk resep-resep agamawi yang manjur dalam memecahkan segala masalah keidupan orang Kristen. Perkataan Theologia dari bahasa Yunani Theos, yang berarti Allah dan Logos, yang berarti perkataan.
Jadi, teologia berarti bidang ilmu yang mempelajari iman dan tindakan dan pengalaman agama. Sedangkan Misi, menurut Kamus latin bahasa Indonesia, Missio berasal dari kata Mitto yang mempunyai arti sebagai berikut: Pengiriman; hal mengutus; hal membiarkan pergi seperti : pembebasan (orang tawanan/tahanan); pemberhentian (dari dinas militer); Misi, Mitto mempunyai arti: menyebabkan pergi, membiarkan pergi (membebaskan, melepaskan). Jadi, Teologi Misi adalah ilmu yang mempelajari iman dan tindakan serta pengalaman tentang pengutusan atau pengiriman seseorang untuk melakukan pelayanan pengabaran Injil Yesus Kristus.
Misi Menurut Perjanjian Lama
Di dalam Kitab perjanjian Lama tidak terdapat suatu penegasan yang secara tegas untuk melakukan Pekabaran Injil atau Misi kepada bangsa-bangssa, namun sungguhpun demikian bukan berarti Allah tidak mempnyai Misi untuk menjangkau bangsa-bangsa lain. Justru peranan Allah sendirilah misi itu diwujudkan melalui penciptaan Alam Semesta dan mat-Nya bangsa Israel.
Teologia Misi yang mempunyai arti mencolok dari kata Misi adalah pengutusan keluar kepada banga-bangsa (bangsa non Kristen) di dunia untuk menyampaikan suatu berita keselamatan dan kesukaan (injil) datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, yang dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun melalui pelayanan diakonal, yang bersift kesaksian dan pelayanan secara holistic (keseluruhan). Mengingat bahwa umat Israel pada jaman perjanjian lama merupakan umat perjanjian Allah, umat pilihan Allah yang dipilih oleh Allah sendiri untuk menjadikan umat-Nya yang mengemban Perjanjian Kekal yang menyatakan kasih setia tuhan terhadap semua orang yang percaya; sehubungan dengan itu agar Israel menjadi berkat bagi semua Bangsa dimuka bumi, seperti dalam pemanggilan Abraham yang pertama dalam kejadian 12:2-3 yang berbunyi sebagai berikut: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum dimuka bumi akan mendapat berkat.”
Di dalam kejadian 3:15, tersirat janji Allah mengenai rencana Allah bagi penebusan dunia ini. Ini merupakan misi Allah bagi umat manusia dalam mematahkan perlawanan si iblis di antara keturuanan wanita (Tuhan Yesus Kristus), terhadap keturunan ular (iblis danseterusnya) dan janji bahwa akan lahir juru sSelamat melalui seorang wanita (bnd Yesaya 7:14) serta kemenangan atas maut demi kese;amatan umat manusia (bnd. Yesaya 53:5; Matius 1:20-23; Yohanes 12:31; Kisah Para Rasul 26:18; Roma 5:18-19; 16:20; I Yoh. 3:8; Wahyu 20:10.
Dalam pengertian ini Israel bisa disebut juga “Ecclesia” zaman Perjanjian Lama yang mendapat tugas pengutusan (Misi), juga ke ujung bumi. Memang pada zaman Perjanjian Lama belum terlihat sebagai Gereja yang bersifat missioner, hanya sporadic tugas panggilan itu dinampakkan secara individual, umapamanya dalam diri Abraham, Musa, Yunus dan lain-lain. Menyadari panggilan ini Israel bukan saja merupakan bangsa yang ditugaskan Allah untuk memerangi bangsa-bangsa lain. Tetapi sekaligus menjadi motivator untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa yang ditaklukkannya untukdapat menyampaikan seruan pertobatan terhadap Allah yang disembah. Dalam melakukan tugas panggilan Misi, bangsa Israel tidak sedikit harus mengalami penderitaan sebagai “Hamba Tuhan”. Untuk datang kepada terang-Nya.
Umpamanya dalam Yesaya dikatakan bahwa: “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terang-Mu, dan Raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimMu. Angkatlah mataMu dan lihatlah ke sekeliling, mereka semua berhimpuan kepadaMu …” (Yesaya 60:3) “Bangsa-bangsa akan melihat kebenaranMu, dan semua raja akan melihat kemuliaanMu, dan orang akan menyebut dengan nama baru yang akan ditentukan oleh Tuhan sendiri. ” (Yesaya 62:2). Menurut H. Venema dalam bukunya Injil Untuk Semua Orang, mengatakan bahwa: “Dengan pemanggilan Abram, Tuhan mengambil kembali inisiatif dari tangan manusia. Tuhan mengambil kembali control atas langit dan bumi. Tuhan menyatakan diri lagi sebagai Raja segala bangsadan melanjutkan rencana-Nya. Pemanggilan Abram adalah bukti kuasa Tuhan.”
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mengambil pelajaran dan pemahaman penting bahwa:
- Orang yang diutus untuk mengabarkan kebenaran Firman Tuhan dalam perjanjian Lama adalah menyangkut tugas esensial bagi Israel sebagai umat Perjanjian.
- Israel dipilih oleh Allah, atas dasar kemurahan dan kasih karunia Allah, dalam rangka rencana keselamatan Allah bagi bangsa-bangsa.
- Umat Israel dalam Perjanjian Lama dipanggil keluar dalam memenuhi utusan Allah ke bangsa-bangsa lain (non Kristen), dalam era zaman baru Israel berfungsi sebagai saksi dan hamba Tuhan.
- Allah mengutus Israel di dalam Perjanjian Lama secara propetis menjadiberkat dan esukaan besar bagi bangsa-bangsa lain. Agar mereka secara berduyun-duyun datang kepada Tuhan untuk menyembah dan memuji-muji Tuhan di dunia yang baru, dimana Yerusalem secara simbolis menjadi pusatnya.
- Pengutusan Israel dalam Perjanjian Lama merupakan landasan dasar dan gambaran perspektif misioner di dalam perjanjian baru yang luas sampai ke ujung bumi dan kedatangan kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus (Yesaya 60:3; 62:2).
Misi Menurut Perjanjian Baru
Dalam perjanjian Baru, Misi adalah suatu ekspresi kehidupan sikap orang percaya di dalam kekristenan. Menurut David Royal Brong Ham dalam bukunya Merencanakan Misi, mengatakan bahwa: ”Dalam Perjanjian Baru, misi adalah ekspresi yang wajar dari kekristenan yang hidup.“[1] Yesus Kristus adalah pelopor misi itu sendiri. Oleh karena Ia di dalam hidupnya selalu melakukan tugas pelayanan kepada orang-orang yang perlu pertolongan. Yesus sendiri sepenuhnya menyadari tugas-Nya dari Bapa. Dia tahu berdiri di depan manusia sebagai ganti allah Bapa: lihat Yohanes 14:9). Jadi, Yesus sadar dan mengerti dengan betul bahwa Dia adalah seorang yang diutus, sedang misionaris, sperti yang tertulis dalam Yohanes 6:38: “Sebab Aku telah turun dari Surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.”
Dalam misi, Yesus ingin apa yang Ia lakukan dapat dilakukan oleh semua orang (Para pengikut-pengikutNya). Menurut Donald Guthrie dalam bukunya Teologia Penjanjian Baru 2, mengatakan bahwa: Yesus memandang misi-Nya sebagai sesuatu yang melibatkan orang lain. Hal ini dengan ringkas dikemukakan dalam Yohanes 17:1 9, dimana Yesus berdoa: Aku menguduskan (Hagiazo) diriKu bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran. Ia tidak hanya berbuat sesuatu demi/untuk mereka melainkan Ia berbuat sesuatu yang melibatkan mereka.[2] Secara umum Misi Perjanjian Baru adalah untuk melaksanakan maksud daripada penebusan Allah bagi dunia. Dengan kata lain, Misi adalah melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Berbeda dengan Misi Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru metode-metode misi tentunya telah berubah dn akan mengalami perubahan senantiasa, akan tetapi misi Allah yang ditegakkan pada prinsipnya tetap sama.
Dalam perjanjian Baru, Misi adalah suatu ekspresi kehidupan sikap orang percaya di dalam kekristenan. Menurut David Royal Brong Ham dalam bukunya Merencanakan Misi, mengatakan bahwa: ”Dalam Perjanjian Baru, misi adalah ekspresi yang wajar dari kekristenan yang hidup.“[1] Yesus Kristus adalah pelopor misi itu sendiri. Oleh karena Ia di dalam hidupnya selalu melakukan tugas pelayanan kepada orang-orang yang perlu pertolongan. Yesus sendiri sepenuhnya menyadari tugas-Nya dari Bapa. Dia tahu berdiri di depan manusia sebagai ganti allah Bapa: lihat Yohanes 14:9). Jadi, Yesus sadar dan mengerti dengan betul bahwa Dia adalah seorang yang diutus, sedang misionaris, sperti yang tertulis dalam Yohanes 6:38: “Sebab Aku telah turun dari Surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.”
Dalam misi, Yesus ingin apa yang Ia lakukan dapat dilakukan oleh semua orang (Para pengikut-pengikutNya). Menurut Donald Guthrie dalam bukunya Teologia Penjanjian Baru 2, mengatakan bahwa: Yesus memandang misi-Nya sebagai sesuatu yang melibatkan orang lain. Hal ini dengan ringkas dikemukakan dalam Yohanes 17:1 9, dimana Yesus berdoa: Aku menguduskan (Hagiazo) diriKu bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran. Ia tidak hanya berbuat sesuatu demi/untuk mereka melainkan Ia berbuat sesuatu yang melibatkan mereka.[2] Secara umum Misi Perjanjian Baru adalah untuk melaksanakan maksud daripada penebusan Allah bagi dunia. Dengan kata lain, Misi adalah melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Berbeda dengan Misi Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru metode-metode misi tentunya telah berubah dn akan mengalami perubahan senantiasa, akan tetapi misi Allah yang ditegakkan pada prinsipnya tetap sama.
Sumber:
David R. B. Ham, 1980. Merencanakan Misi Lewat Gereja-geraja Asia, Malang: Gandum Mas
Donald Guthrie, 1978. Teologia Perjanjian Baru 2, Malang: Gandum Mas
Misi Dalam Perjanjian Lama (Sebuah Ringkasan)
Misi dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan pemilihan Israel sebagai bangsa yang dipilih Allah dan juga hubungan Israel dengan bangsa - bangsa lain. Untuk itu kita perlu memperhatikan 3 aspek dari pemilihan Israel, yakni :
Aspek Universalisme
Pada halaman pertama dari kitab suci, kita sudah diperhadapkan dengan perbuatan – perbuatan Allah terhadap seluruh dunia. Ia bertindak secara universal. Kisah penciptaan langit dan bumi, dan penempatan manusia di dalamnya merupakan prasejarah bagi Israel, dan serentak pula sebagai prasejarah bagi keselamatan seluruh dunia (Kej 1-11). Tetapi prasejarah ini juga memperlihatkan bagaimana kejahatan merembes masuk kedalam dunia. Keadaan yang demikianlah, yangh menjadi latar belakang pemanggilan Abram (Kej 12). Ia dipanggil untuk pergi dari sanak saudaranya meninggalkan dunia orang kafir, tetapi Tuhan yang memanggil itu berjanji bahwa ia akan menjadi berkat untuk semua kaum dimuka bumi. Kisah pemilhan Abraham dan keturunannya merupakan persiapan bagi Israel yang berwujud keluaran dari Mesir. Dengan memilih umat Israel maka Allah mengarahkan pandanganNya keseluruh dunia. Dalam hubungan ini, maka pentinglah bunyi Keluaran 19 : 5 - 6. Kekudusan dan Keimaman menyatakan fungsi pelayanan. Selaku pengantara Israel juga melayani bangsa-bangsa lain (Yes 61 : 6).
Israel diantara segala bangsa merupakan suatu gambaran pemerintahan Allah dan suatu gambaran pelayanan selaku imam. Hal ini dinyatakan pula dalam Ul 7 : 6, dimana kasih sebagai dasar pemilihan ditekankan “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh Tuhan, Allahmu dari segala bangsa diatas muka bumi untuk menjadi umat kesayanganNya sendiri”. Israel adalah suatu alat dalam tangan Tuhan, suatu tahap dalam rencana Allah. Yang dituju ialah keselamatan dunia.
Pemilihan atas Israel adalah jalan yang ditempuh Allah untuk mencapai tujuanNya, yaitu pengakuan namaNya oleh seluruh bangsa-bangsa. Universalisme – keselamatan dibentangkan pula dalam beberapa kitab lain seperti Rut, Yesaya 40-55, dan juga kitab Yunus. Dalam kitab Yunus dengan tegas menentang sikap partikularisme ( pembatasan keselamatan bagi diri sendiri saja). Dalam bentuk perumpamaan, kitab Yunus mau memperingatkan kepada orang-orang Yahudi yang berada dalam pembuangan bahwa mereka tidak boleh menjadi suatu rintangan antara Yahwe dan orang-orang kafir(bangsa lain). Yunus yang adalah orang Israel dipanggil untuk menyatakan rahmat Yahwe terhadap Niniwe.
Aspek Eskhatologia
Para nabi biasanya juga menyampaikan berita dari Allah kepada bangsa-bangsa. Seringkali mereka mengabarkan hukuman, baik kepada Israel maupun kepada bangsa-bangsa kafir, kadang hukuman atas Israel akan dilaksanakan oleh bangsa kafir, adakalanya kedengaran berita hukuman atas bangsa-bangsa akibat sikap mereka terhadap Allah Israel dan acapkali berita keselamatan untuk kedua-duanya, melihat keselamatan Israel, “maka bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Aku, TUHAN, menguduskan Israel” Yeh 37: 28.
Di dalam pemberitaan para nabi selalu saja ada pengharapan bahwa bangsa-bangsa l;ain akan ditarik menuju pusatkehadiran Allah Israel, lalu bangsa-bangsa lain itu akan mengaku namaNya. Keselamatan eskhatologis digambarkan dalam PL melalui gambaran tentang datangnya bangsa-bangsa lain berarak-arakan kearah Sion. Kedatangan itu merupakan gerakan yang sentripetal, menuju pusat dimana tersedia keselamatan, dimana ada Yahwe dan umatNya, pusat kehadiranNya, pusat dunia. Bangsa-bangsa akan datang kepada Israel dan Allahnya.
Bukanlah Israel yang bertindak, bukanlah bangsa-bangsa yang bertindak tetapi Allah sendirilah yang bertindak terhadap Israel dalam pusat sejarah dan pusat dunia, dan dengan jalan demikian segala bangsa akan datang untuk melihat dan akhirnya untuk disangkut pautkan dalam drama - keselamatan. Disini bukanlah Israel yang menjadi saksi tetapi bangsa-bangsa akan menyaksikan apa yang terjadi di Israel, sehingga ad ketertarikan untuk mencari Allah Israel.
Masa Depan Mesianis
Di dalam pengharapan Israel akan masa depan, pemegang kunci ialah Almasih ( Mesias ) yang dijanjikan selaku pembawa keselamatan.atau lebih tepat lagi, Ia merupakan poros berkisarnya zaman yang akan datang, yang dipentingkan dalam gambaran tentang zaman yang akan datang itu ialah pemerintahan Tuhan atas Israel dan atas bangsa-bangsa lainnya, dan pemerintahan itu akan didatangkan dan dilaksanakan oleh oknum mesianis sebagai penyelamat. Sering kali pengharapan itu berpusat pada diri Daud dan keturunannya yang akan memerintah dengan adil dan damai pada masa depan sebagai raja yang diberikan Allah. Kadang-kadang pula pengharapan mesianis berpaut pada orang yang diurapi Tuhan, baik yang memangku jabatan sebagai raja maupun sebagai imam dan juga sebagai nabi, ( Mzm 2, 110, dan Yes 61 ).
Perhatian khusus diberikan kepada Hamba Tuhan yang menderita seperti nampak dalam dalam Yes 40-55, yakni yang berbicara mengenai penderitaan sengsara. Masa depan mendekat hanyalah melalui sengsara, itulah penderitaan yang mendahului lahir zaman baru. Penderitaan ini merupakan “his” ( kesakitan beranak ) yang harus dialami atau yang diwakili oleh sisa-sisa umat Allah yang setia, yang kemudian pada akhirnya diwakili oleh seorang hamba Yahwe yang patuh. Jadi “his” mesianis ini menderita sebagai ganti orang lain. Ia mendirikan Israel memberikan kepadanya penghiburan dan kekuatan baru, terutama pengharapan untuk pulang ketanah airnya. Ia kan membuat Israel baru dengan memberikanya keadilan hukum. Dengan demikian ia menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang bagi bangsa. Keselamatan yang dikaruniakan Tuhan kepada kepada Israel mempunyai aspek universal, Israel yang dibaharui karena diberikan keselamatan dari Tuhan menjadi pembawa keselamatan sampai ke ujung buimi Yes 49 : 6. Keselamatan yang dari Allah Israel itu diperuntukan sampai ke ujung bumi. Ujung bumi berarti pinggir wilayah penciptaan atau pembatasan antara terang dan gelap. Dan kepada segala ujung bu8mi itu diserukan agar mereka berpaling kepada Tuhan, Yes 45 : 22. Jadi dalam hal ini peranan Israel tidak aktif keluar, tetapi pasif, yaitu menanggung penderitaan. Hamba itu menderita bagi Israel dan Israel menderita bagi banyak orang.
Persfektif terakhir ialah pembaharuan penciptaan, langit yang baru dan bumi yang baru, Yes 65 : 17 ; 66 : 22, dimana tidak aka nada lagi tangisaan dan penindasan dan juga kesia-siaan. Perspektif terakhir dari pengharapan Israel merupakan pada tindakan Allah melalui penciptaan langit dan bumi. Israel dipanggil untuk mengharapkan dan memprjuangkan suatu kerajaan damai bagi seluruh dunia. “Yang menjadi Penebusmu ialah yang maha kudus, Allah Israel. Ia disebut Allah seluruh bumi.
Dari pembahasan diatas, dapat kita ambil beberapa hal yang merupakan kesimpulan dari PL mengenai peran Israel. Disini kita lihat bahwa Israel mempunyai fungsi sebagai perantara dalam rencana Allah. Israel harus menerima dengan taat keselamatan yang dari Allah, janji-janjiNya dan hukum-hukumNya, supaya dapat memperlihatkan kepada bangsa-bangsa lain siapa Allah Israel, ia harus menjadi daya penarik bagi bangsa-bangsa lain. Fungsi sebagai perantara ini menegaskan bahwa Israel memiliki tiga aspek yakni, kerajaan, keimaman dan kenabian bagi dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)